KOMPAS.com - Pagi itu, ada pemandangan berbeda dalam
acara wisuda Univeritas Negeri Semarang (UNNES). Sebuah becak masuk
parkiran kampus, sejajar di antara padatnya mobil pengantar para
wisudawan dan wisudawati. Mengenakan kebaya dan kain lengkap dengan toga
wisudanya, Raeni turun dari becak itu.
Seperti dikutip dari situs resmi Unnes, wisudawati dari Jurusan
Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi (FE) itu berangkat ke lokasi
wisuda diantar oleh ayahnya, Mugiyono, yang sehari-hari berprofesi
sebagai tukang becak. Siapa mengira, meski hidup dalam kondisi ekonomi
pas-pasan, Raeni justru berhasil meraih mimpinya menjadi sarjana.
Bahkan, ia berhasil menjadi wisudawan terbaik dengan indeks prestasi
kumulatif (IPK) 3,96.
Penghasilan Mugiyono yang kerap tak menentu
pun tidak mematahkan semangat Raeni untuk meniti masa depan. Berkat
bantuan beasiswa Bidik Misi dari DIKTI, Raeni berhasil menyelesaikan
studinya. Konsistensi prestasi ia tunjukkan dengan nilai rata-rata
indeks prestasi skala empat.
Lain Semarang, lain juga di
Yogyakarta. Bantuan beasiswa pendidikan bagi kalangan yang kurang mampu
turut dirasakan manfaatnya oleh Chief Executive Officer Astra Credit
Companies (ACC), Jodjana Jody. Pada 1987, dia lulus dari SMA 1 Jambi.
Penghasilan orang tua dari toko kelontong kecil membuat Jody berpikir
ulang untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Jody
sadar betul, ia tak mampu melanjutkan ke perguruan tinggi swasta
mengingat biaya tes saja Rp 1 juta. Namun, semangatnya tak berhenti
sampai di situ. Jody mulai membuat daftar perguruan tinggi yang dirasa
tidak akan mematok biaya terlalu tinggi. Ia memutuskan memilih
Universitas Gajah Mada di Yogyakarta sebagai incarannya.
Jody
lalu mengikuti tes Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU) yang
kini berganti nama menjadi Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN). Ia akhirnya diterima di Universitas Gajah Mada,
Fakultas Ekonomi Manajemen.
Enam bulan pertama masa kuliah, Jody
harus bertahan dengan uang saku dari orang tuanya sebesar Rp 300 ribu.
Ia kembali harus memutar otak untuk bertahan hidup.
Saat itu,
Jody mencoba mencari uang saku tambahan dengan mengajar. Dia merasa
penghasilannya tak akan selamanya dapat memenuhi biaya pendidikan. Ia
mulai berpikir untuk mencari beasiswa.
Sampai suatu hari,
menginjak semester lima, Jody melihat pengumuman beasiswa Yayasan Toyota
dan Astra (YTA) di papan kampus UGM. Berdasarkan pengumuman, syarat
penerima beasiswa harus sudah menempuh pendidikan selama dua tahun serta
minimal IPK 3,50.
"Awalnya saya sedikit tidak percaya diri,
karena kompetitor pasti banyak. Namun, di sisi lain saya juga merasa
sedikit lega. Dari segi nilai, IPK telah memenuhi syarat. Saya pun mulai
mempersiapkan berkas-berkas persyaratan dan apply beasiswa
tersebut melalui kampus. Enam bulan proses seleksi, akhirnya saya
berhasil mendapatkan beasiswa dari YTA," kata Jody, saat ditemui di
kantor Astra Credit Companies.
Jody terbilang tepat waktu dalam
menyelesaikan pendidikannya. Beasiswa dari Yayasan Toyota dan Astra
menghantarkannya menjadi seorang sarjana dalam kurun waktu empat tahun
saja.
Beasiswa jadi "tiket" meraih cita-cita
Bagi
kalangan tertentu, mengecap pendidikan tinggi masih hanya sebatas
mimpi. Namun, jika punya semangat pantang menyerah, ternyata banyak anak
muda yang sukses meraihnya di tengah-tengah keterbatasan. Sosok Raeni
dan Jody seolah membuktikan bahwa tidak ada halangan bagi anak dari
keluarga kurang mampu untuk bisa berkuliah dan berprestasi.
Studi Hassler pada 2007 menemukan bahwa masyarakat yang memiliki kemudahan akses pada pendidikan memiliki kesempatan dalam social upward mobility
(meningkatkan status sosial) yang lebih baik secara ekonomi. Hal ini
terasa tepat bila dikaitkan dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat
ini.
Beasiswa seolah menjadi harapan bagi generasi unggul yang
berasal dari keluarga kurang mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Dengan demikian, pandangan bahwa bangku pendidikan hanya bisa dinikmati
anak-anak dari kalangan menengah ke atas akan semakin sirna.
Sejauh
ini, manfaat beasiswa memang dirasa dapat mengubah kehidupan seseorang
menjadi jauh lebih baik. Namun, perlu ada kepekaan juga dari semua
kalangan, baik masyarakat, industri, maupun pemerintah. Gerakan
bahu-membahu menggali potensi anak-anak kurang mampu sebaiknya bisa
digenjot kembali agar bibit-bibit unggul bangsa bisa tersalurkan
potensinya.
"Jika dilihat perkembangan suatu bangsa, negara atau
dalam perkembangan industri atau apa pun itu, manusia adalah penggerak
yang utama. Nah, pengembangan manusia ini didapatkan melalui
pendidikan," ujar I Made Tangkas, Direktur Corporate and External Affair
Directorate PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Rabu
(2/9/2015) di Jakarta.
"SDM yang kuat dan kokoh itu ada karena
mereka mempunyai pendidikan yang cukup, pemahaman dan kompetensi, juga
motivasi mau menjalankan regulasi dan aturan," tuturnya.
Berbicara
tentang jangkauan, Yayasan Toyota dan Astra sendiri sudah memberi
beasiswa di berbagai tingkat pendidikan, dari mulai SD, SMP, SMA sampai
perguruan tinggi. Bahkan, beasiswa diberikan tidak hanya kepada siswa,
tapi juga kepada peneliti, guru, dosen, dan tenaga pengajar lain. Hingga
awal 2014, sudah sebanyak 92.713 beasiswa diberikan. Mulai dari
Sumatera sampai Papua.
Ia juga menambahkan, sejauh ini
persyaratan penerima beasiswa untuk tingkat SD, SMP, dan SMA tidak
terlalu ketat. Dua syarat utamanya adalah berprestasi dan memiliki
keterangan bahwa orang tua mereka tidak mampu.
Tanggung jawab
dalam membangun pendidikan anak-anak bangsa tak bisa sepenuhnya
diserahkan kepada pemerintah saja. Hal ini membutuhkan kerja sama
berbagai pihak, termasuk masyarakat dan industri sebagai penyerap tenaga
kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar